TURUNNYA QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
I. Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: ”Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Di sini kami akan mengemukakan pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
A. Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian bahwa jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa yang digunakan. Ketujuh bahasa tersebut adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin dan Sa’d bin Bakar.
B. Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
C. Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: Amr (perintah), Nahyu (larangan), Wa’d (janji), Wa’id (ancaman), Jadal (perdebatan), Qasas (cerita) dan Masal (perumpamaan). Atau Amr, Nahyu, Halal, Haram, Muhkam, Mutasyabih dan Amsal.
D. Segolongan ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilâf (perbedaan) yaitu:
1. Ikhtilâfâtul Asmâ’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya seperti tasniyah, jamak dan ta’nis. Misalnya firman Allah:
ﻭﺍﻠﺫﻴﻥﻫﻢ ﻷﻣﺍﻨﺍﺗﻬﻡ ﻭﻋﻬﺩﻫﻡ ﺭﺍﻋﻭﻥ al-Mukminin [23]:8), dibaca ﻷﻣﺁﻧﺘﻬﻡ
dengan bentuk mufrad dan dibaca pula ﻷﻣﺍﻨﺍﺗﻬﻡ dengan bentuk jamak. Sedangkan rasamnya dalam Mushaf adalah ﻹﻣﻧﺘﺘﻡ memungkinkan kedua qiraat itu, karena tidak adanya alif yang disukun.
2. Perbedaan dalam segi I’râb (harakat akhir kata), seperti firman-Nya: ﻤﺍﻫﺫﺍﺒﺷﺮ (Yusuf [12]:31). Jumhur membacanya dengan nasab (accusative), dengan alasan ﻤﺎ berfungsi seperti ﻟﻳﺱ ; dan ini adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan. Sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (nominative) ﻤﺍﻫﺫﺍﺒﺷﺮ ; sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan ﻤﺎ seperti ﻟﻳﺱ
3. Perbedaan dalam Tasrîf, seperti firman-Nya: ﻓﻗﺍﻟﻭﺭﺑﻧﺍ ﺑﺍﻋﺩ ﺑﯿﻦﺃﺴﻓﺍﺭﻧﺍ (Saba [34]:19) dibaca dengan menasabkan ﺭﺑﻧﺍ, karena menjadi munâdâ mudâf dan ﺑﺍﻋﺩdibaca dengan bentuk perintah (fi’il amr). Lafaz ﺭﺑﻧﺍ dibaca pula dengan rafa’ sebagai mubtada’ dan ﺑﺍﻋﺩdengan membaca fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madi yang berkedudukan sebagai khabar atau sebutan. Juga dibaca ﺑﻌﺩ dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan merafa’kan lafaz ربنا
4. Perbedaan dalam Taqdim (mendahulukan) dan Ta’khîr (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti firman-Nya: ﺃﻓﻟﻡ ﯿﯿﺃﺲ (ar-Ra’d [13]:31) yang dibaca juga ﺃﻓﻟﻡﯿﺃﯿﺲ maupun di dalam kata seperti firman-Nya: ﻓﯿﻗﺗﻟﻮﻦ ﻭﯿﻗﺘﻟﻮﻦ (at-Taubah [9]:111) dimana yang pertama ﻓﯿﻗﺗﻟﻮﻦ dimabnî-fâ’ilkan (dibaca dalam bentuk aktif) dan yang kedua ﻭﯿﻗﺘﻟﻮﻦ dimabnî-maf’ŭlkan (dibaca dalam bentuk pasif), atau di samping itu dibaca pula dengan sebaliknya.
5. Perbedaan dalam segi Ibdâl (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, seperti firman-Nya:ﻭﺍﻧﻆﺭﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﻇﺍﻢ ﻛﯿﻑ ﻨﻧﺷﺯﻫﺍ (al-Baqarah [2]:259) yang dibaca huruf za dan mendamahkan nun, disamping itu dibaca pula dengan huruf ra dan memfathahkan nun, maupun penggantian lafaz dengan lafaz, seperti firman-Nya: (al-Qari’ah [101]:5) yang dibaca oleh Ibn Mas’ud dan lain-lain dengan
6. Perbedaan karena penambahan dan pengurangan. Ikhtilâf dengan penambahan (ziyadah), seperti firman-Nya: (at-Taubah [9]:100) yang dibaca juga dengan tambahan keduanya merupakan qiraat yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena pengurangan (naqs),seperti firman-Nya: (al-Baqarah [2]:116), tanpa huruf wawu, sedang jumhur ulama’ membacanya dengandengan wawu.
7. Perbedaan Lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah, azhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam dan lain-lain. Seperti imalah dan tidak imalah dalam firman-Nya: (Ta Ha [20]:9), yang dibaca dengan mengimalahkan kata dan membaca tarqiq ra dalam firman-Nya mentafkhimkan huruf lam dalam kata, mentashilkan hamzah dalam firman-Nya: (al-Mukminun [23]:1) dan mengisymamkan huruf gin dengan didamahkan bersama kasrah dalam firman-Nya: (Hud [11]:44)
E. Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya: bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambing kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
F. Segolongan ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah Qiraat Tujuh.
II. Tarjih dan Analisis
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama (A), yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama.
Pendapat kedua (B), yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang dikemukakan, tetapi hanyalah perbedaan pendapat lafaz-lafaz mengenai makna yang sama.
Pendapat ketiga (C), yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal (makna), yaitu: Amr, Nahyu, Halal, Haram, Muhkam, Mutasyabih dan Masal. Dijawab, bahwa Zahir hadits-hadits tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat, padahal sesuatu yang sayu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram didalam satu ayat dan keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Pendapat keempat (D), yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilâf. Dijawab, bahwa pendapat ini meskipun sudah populer dan diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama.
Pendapat kelima (E), yang menyatakan bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadits menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas; seperti “Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf.”
Pendapat keenam (F), yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah Tujuh Qiraat, dapat dijawab, bahwa Qur’an itu bukanlah Qiraat. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedangkan Qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafz wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfîf), memberatkan (taŝqîl), membaca panjang dan sebagainya.
Dengan pendapat-pendapat yang telah disampaikan, jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama (A) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih.
III. hikmah turunnya Qur’an dengan tujuh huruf
Hikmah diturunkannya Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bias baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari’at, apalagi mentradisikannya.
2. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab.
Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan daripadanya berbagai hukum
Mengenai Saya
Comment
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar