I. Tafsir Bil Ma’sur
Tafsir Bil Ma’sur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan – kutipan yang shohih menurut urutan yang telah disebutkan dimuka syarat – syarat muffasir yaitu mernafsirkan qur’an dengan qur’an, dengan sunah.
Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu atsar – atsar yang ada mengenai makna ayat kemudian atsar tersebut di kemukakan sebagai tafsir ayat yang bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal- hal yang tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat shohih mengenainya.
Ibnu Taimiyah berkata :
“Kita wajib yakin bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat makna – makna Qur’an sebagai mana telah menjelaskan kepada mereka lafal – lafalnya. Mencakup penjelasan itu, Abu Abdur Rohman As- sulami mengatakan orang yang mengajarkan Al- Qur’an kepada kami seperti Ustman bin Affan yang bercerita kepada kami bahwa bila belajar dari Nabi 10 ayat, mereka tidak meneruskannya sampai mereka mengetahui semua ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Jadi, kata mereka “Kami mempelajari Qur’an itu berikut ilmu dan pengalamannya sekaligus.” Oleh karena itu untuk menghafal satu surat pun mereka memerlukan waktu yang cukup lama.
Diantara tabi’in ada yang mengambil seluruh tafsir dari sahabat. Mujtahid menceritakan, ”Saya membacakan mushaf kepada ibnu abbas sebanyak tiga kali, dari pembukaan (fatihah) sampai dengan penutupan. Saya berhenti pada setiap ayat untuk menenyakan kepadanya hal-hal yang berkaitan dengannya.”
II. Silang pendapat sekitar tafsir bil ma’sur
Tafsir bil ma’sur berkisar pada riwayat yang di nukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya di banding dengan yang terjadi di antara generasi sesudahnya.
Berkata Ibn Taimiyah:
Perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit sekali jumlahnya.dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi variatif, bukan kontradiktif. Perbedaan tersebut dapat di klasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufasir di antara mereka mengungkapkan sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk maka yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama, misalnya penafsiran kata as-sirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya dengan “qur’an” (maksudnya mengikuti qur’an), sedang yang lain dengan “islam’. Kedua tafsiran ini sama, sebab islam ialah mengikuti qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak di gunakan oleh yang lain.
Kedua, masimg-masing mufasir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna.
Perbedaan pendapat terkadang disebabkan sebuah lafaz yang mengandung dua makna seperti lafaz ‘as’as mempunyai arti datangnya waktu malam dan kepergiannya, atau karena beberapa lafaz yang dipakai menggunakan makna yang saling berdekatan, contoh: kata “tubsal” sebagian yang menafsirkan dengan tuhbas (ditahan) dan sebagian menafsirkan dengan turhan (digadaikan)
III. Menghindari cerita-cerita isra’iliyat
Perbedaan pendapat di kalangan musafir terkadang terjadi pada hal-hal yang tidak berguna dan tidak perlu di ketahui yaitu tindakan sebagai musafir yang menukil cerita-cerita isra’ iliyat dari ahli kitab. Contoh: perbedaan mereka tentang nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka padahal Allah telah berfirman: ”Katakanlah, ”Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.”(Al-Kahfi 18:22)
Juga seperti perselisihan mereka tentang ukuran kapal nuh dan jenis kayunya, tentang nama anak yang dibunuh khidir dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya di ketahui penukilan, karena itu apa yang di nukilkan dengan riwayat shahih dari nabi boleh di terima, dan jika tidak ada nukilan shahih hendaknya kita diam, meskipun hati kita merasa cenderung untuk menerima apa yang dinukil dari para sahabat, karena penukilan mereka dari ahli kitab relatif sedikit di banding penukilan tabi’in.
IV. Status Tafsir Bil-ma’sur
Tafsir bil-ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani, karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan jalan yang paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah. Dari ibn abbas, ia berkata “Tafsir itu ada empat macam”:
a) Tafsir yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka yaitu tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa.
b) Tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang yaitu tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti yaitu penafsiran nas-nas yang mengandung hukum-hukum syari’at dan dalil-dalil tauhid.
c) Tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama’ yaitu tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang di dasarkan kepada bukti-bukti dan dalil-dalil.
d) Tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun kecuali Allah, yaitu berdasarkan pada hal-hal yang ghaib seperti terjadinya kiamat dll.
Diantaranya ada pula hal-hal yang tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Misalnya berita-berita tentang terjadinya suatu peristiwa dan waktu-waktu akan datang, seperti waktu terjadinya hari kiamat, tiupan Sangkala, turunnya Isa putra Maryam, dan hal serupa lainnya…….
V. Tafsir Bir-ra’yi
Tafsir bir-ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya munfasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (Istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman (terhadap Al-Qur’an) yang sesuai dengan roh syari’at dan didasarkan pada nash-nashnya. Ro’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut mazhab bathil. Mereka menpergunakan Qur’an untuk di ta’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama’ salaf, sahabat dan tabi’in.
Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan mazhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana di lakukan penulis tafsir al-kasysyaf dalam menyisipkan paham kemu’tazillahannya, sekalipun ada juga yang menggunakan kata –kata yang lebih ringan dari yang lain. Diantara mereka terdapat juga ahli kalam yang menta’wilkan “ayat-ayat sifat” dengan selera mazhabnya.
VI. Status Tafsir bir-ra’yi
Menafsirkan qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram, tidak boleh di lakukan. Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”
“Barang siapa berkata tentang qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.” Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan untuk menafsirkan qur’an dengan suatu yang tidak mereka ketahui.
Abu ‘Ubaid al-Qosim bin Salam meriwayatkan, Abu Bakar Shiddiq pernah ditanya tentang maksud kata al-abb dalam firman Allah, wa fakihatan wa abban (‘Abasa {80}:31). Ia menjawab, ”Langit manakah yang akan menaungi-Ku dan bumi manakah yang akan menyanggah-Ku, jika aku mengatakan tentang kalamullah sesuatu yang tidak Aku ketahui.
At-Tabari menjelaskan:
Semua riwayat di atas menjadi bukti bagi kebenaran pendapat kami, bahwa menafsirkan ayat-ayat Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara tegas atau dengan dengan dalil yang didirikannya untuk itu, tidak seorang pun diperbolehkan menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan bisa melakukannya, sekalipun tepat dan benar, ia tetap di pandang telah melakukan kesalahan karena ia berkata (tentang Qur’an) dengan pendapat sendiri.
At-Tabari lebih lanjut menegaskan:
“Mufasir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Qur’an yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia adalah mufasir yang paling tegas hujjajnya mengenai apa yang ditafsirkan dan di ta’wilkannya, karena penafsirannya didasarkan kepada Rasulullah, bukan kepada yang lain. Yaitu berdasarkan kabar-kabar yang di pastikan berasal dari Rasulullah, baik melalui penukilan paripurna (mustafid)”.
VII. Isra’iliyat
Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan orang Nasrani pun mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak orang Yahudi dan Nasrani bernaung di bawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedang mereka tetap memelihara baik pengetahuan keagamaannya itu.
Ketika ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan, dan disaat membaca kisah-kisah dalam Qur’an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab yang mereka bawakan sesuai pesan Rasulullah:
Janganlah kamu membenarkan (keterangan) ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, ‘kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami”….. (Hadis Bukhari)
Cerita Isra’iliyat ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang, Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli kitab tersebut, ada yang mencela dan ada pula yang mempercayai. Perbedaan pendapat paling besar adalah Ka’bul Ahbar. sedang Abdullah bin salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Karena itu Bukhari dan ahli hadis lainnya memegangi, dan mempercayainya. Di samping itu, kepadanya tidak di tuduhkan hal-hal buruk seperti yang di tuduhkan kepada Ka’bul Ahbar dan Wahb bin Munabbih.
Mengenai Saya
Comment
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar